Jumat, 03 September 2010

Sejarah suku lampung Cikoneng

Embrio Cikoneng ditandai dengan ikrar saling membantu menjaga kedaulatan dan syiar Islam antara Pangeran Saba Kingking dari Kesultanan Banten dengan Ratu Darah Purih dari keratuan Lampung pada abad ke-16. Ikrar itu tertulis dalam sejarah Babat Kuripan dengan Dalung Kuripan (Prasasti Kuripan) yang ditulis dalam bahasa Jawa Banten.
Realisasi Dalung Kuripan berlanjut pada penaklukan kerajaan Padjajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan dan terakhir daerah Parung Kujang oleh prajurit dari Keratuan Lampung. Penaklukan daerah Parung Kujang (sekarang Kabupaten Sukabumi) terjadi pada abad ke-17, satu abad sesudah peristiwa Dalung
Kuripan, menjadi janin keberadaan Cikoneng.

Pada waktu penaklukan Parung Kujang, Keratuan Lampung tidak diketahui sedang dipimpin oleh siapa. Sebab kerajaan Lampung waktu itu ada dua, Kuripan (Kalianda) dan Tulang bawang (Menggala). Tetapi saat itu Kesultanan Banten diketahui sedang berada dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Keratuan Lampung mengirimkan empat orang prajurit kakak beradik, yaitu Menak Gede, Menak Iladiraja, Menak Sengaji dan Menak Parung.

Setelah keempat utusan datang ke Kesultanan Banten dan melapor, Sultan Agung nampak kecewa karena jumlahnya hanya empat, padahal biasanya 40 prajurit. Akan tetapi keraguan Sultan Agung dapat ditepis, setelah keempat prajurit itu dengan taktik tipu muslihatnya mengalahkan pasukan Parung Kujang. Kisah penaklukan itu sampai kini terkenal dengan cerita rakyat Cikoneng, Taktik Manusia Kerdil dan Baju Dendeng. Karena kesuksesan keempat prajurit Keratuan Lampung ini, Sultan Agung akhirnya mengangkat Menak Gede sebagai adipati di Kerajaan Banten. Namun setelah satu tahun menjabat, Menak Gede Meninggal dunia. Jabatan Adipati pun diserahkan kepada adiknya, Minak Iladiraja. Ia pun mengalami nasib yang sama, wafat setahun kemudian. Sayang, makam kedua kakak beradik itu tidak pernah diketahui sampai saat ini.
Sepeninggalan Menak Iladiraja, Menak Sengaji dipanggil Sultan untuk menggantikan Menak Iladiraja. Akan tetapi Menak Sengaji tidak langsung menerima jabatan itu. Ia meminta syarat mau diangkat menjadi adipati di luar daerah kekuasaan kakaknya. Menak Sengaji ingin daerah Banten bagian barat, daerah yang langsung berhadapan dengan daerah leluhurnya. Ia juga meminta dibolehkan membawa saudara-saudaranya dari Lampung. Syarat itu diluluskan Sultan Agung. Malahan Sultan Agung memberi Menak Sengaji hak kepemilikan atas selat sunda termasuk Pulau Sangiang dan tanah sepanjang pesisir Selat Sunda, mulai dari Tanjung Purut (Merak) sampai ke Ujung Kulon.

Dari Tanjung Purut ke pedalaman hingga ke Gunung Panenjuan (Mancak) dan terus membentang ke arah barat mencapai Gunung Haseupuan berakhir di Ujung Kulon. Setelah persetujuan itu, berangkatlah Menak Sengaji membawa 40 kepala keluarga yang terdiri dari sembilan buai, di antaranya Buai Aji, Arong, Rujung, Kuning, Bulan, Pandan, Manik dan Besindi. Pertama kali datang, kemungkinan terbawa arus timur, rombongan Menak Sengaji terdampar di teluk perak. Akhirnya rombongan beristirahat tidak jauh dari teluk, tempat itu kemudian diberi nama Kubang Lampung, artinya tempat mendarat kumpulan warga Lampung di Banten. Setelah mengalami tiga kali perpindahan tempat rombongan Menak Sengaji sepakat menempati kawasan pantai Anyer yang dulu bernama Alas Priuk dan pelabuhannya dinamai Pelabuhan Priuk. Kemudian mereka mendirikan pemukiman lampung yang diberi nama Kampung Bojong. Berputarnya roda waktu jumlah 40 KK itu beranak pinak, Kampung Bojong dimekarkan menjadi empat kampung yaitu Kampung Bojong, Kampung Cikoneng, Kampung Tegal dan terakhir Kampung Salatuhur.

ketika rombongan ini sedang membuat kampung Salatuhur, Sultan Ageng tiba-tiba datang berkunjung. Kampung Salatuhur belum memiliki nama waktu itu. Dengan segera Menak Sengaji lalu meminta Sultan untuk memberi nama. Karena waktu sudah masuk waktu salat Zuhur, diberilah nama Kampung salat Zuhur dan karena perkembangan bahasa, kini ejaannya berganti menjadi Kampung Salatuhur

Masih di Kampung Salatuhur, Sultan Ageng mengajak untuk salat Zuhur berjamaah. Tapi sial, kampung belum memiliki sumur untuk mengambil air wudu. Kemudian Sultan berdiri dan berjalan ke suatu tempat lalu menancapkan tongkatnya. Setelah dicabut bekas tancapan itu mengeluarkan air (versi lain mengatakan Sultan menunjuk suatu tempat dengan tongkatnya untuk digali menjadi sumur). Tapi yang jelas, mata air itu masih utuh hingga kini dan terkenal dengan nama Sumur Agung, berdiameter kira-kira dua meter.

Yang disayangkan semua cerita asal muasal perkampungan Cikoneng, hanya didapat dari para orang tua mereka yang mewariskan dari mulut ke mulut

1 komentar:

  1. Sebuah sejarah yang akan terlupakan apabila hanya di dokumentasi hanya dalam bentuk cerita turun menurun sehingga tak lebih dari sekedar cerita rakyat. Oleh karena itu tugas kita adalah bagaimana kita dapat menggali kembali sumber cerita lisan itu lalu digeneralisasi baik kebenaran cerita maupun tempat terjadi dan waktu kejadian lalu di bukukan secara resmi, maka Insya Allah itu semua akan tercatat dalam sejarah banten bahwa putra Lampungpun berperan besar akan kemajuan dan perluasan wilah Banten. Sebagai tambahan bahwa Pangerang Seba Kingking adalah nama sebutan oleh orang lampung untuk Maulana Hasanudin.

    BalasHapus