Kamis, 08 April 2010

Adat "NAMONG" dalam Masyarakat Adat Way Lima

“Namong” berasal dari kata dasar “Tamong”, yang artinya orang yang dituakan, dihormati dan diagungkan (seperti kakek, nenek atau buyut). Mungkin pada jaman dulu Tamong dalam bahasa lampung kuno disebut dengan “Phu-Yang” (orang yang dituakan dan dihormati) atau “Umpu” (anak cucu yang masih hubungan darah atau keturunan).

Sedangkan arti dari kata “Namong” menurut bahasa berarti mempunyai Tamong atau ber-Tamong. Tapi menurut makna, “Namong” adalah seorang anak ber-Tamong kepada seseorang (masih hubungan darah) yang diharapkan menjadi penerus sifat kebaikannya (kearifan, kedermawanan dan kebijaksanannya). Budaya “Namong” ini hanya ditemukan dalam masyarakat Adat Lampung Pesisir Pemanggilan Marga Way Lima yang tersebar di 4 kecamatan yaitu Pardasuka, Kedondong, Way Lima dan sebagian Gedong Tataan.

Anak yang telah diberi nama dalam syukuran, biasanya langsung juga diberi Namong-nya. Adapun ketentuan Namong-an adalah sebagai berikut :

1. Harus ada hubungan darah (keturunan) baik dari pihak bapak atau ibu si anak. (contohnya : Kakek dan Nenek dari pihak ibu atau bapak, atau Kakek dan Nenek dari pihak paman /sepupu ibu atau bapak).

2. Anak yang ber-Tamong kepada seseorang, syaratnya harus beda 2 generasi. ( contohnya : Cucu dengan Kakek atau Nenek).

3. Anak laki-laki dengan kakek, sedangkan anak perempuan dengan nenek.

4. Anak laki-laki Namong kepada seorang kakek, maka kakeknya memanggil anak tersebut dengan sebutan “Sabai Kuya”, dan neneknya memanggil kepada anak tersebut dengan sebutan “Enggom”. Sebaliknya begitu juga pada anak perempuan yang Namong kepada seorang nenek, neneknya memanggil “Sabai” dan kakek memanggil ”Enggom”.

5. Begitu juga anak tersebut dipanggil oleh anak dari kakek atau nenek yang di-Namong-kan. Jika anak itu laki-laki, maka anak dari kakek atau nenek memanggilnya “bapak” dengan maksud menuakan dan menyayangi. Dan juga jika anak itu perempuan, mereka akan memanggil “Induk”. Tapi orang tuanya (bapak ibu) tetap memanggil dengan sebuatan biasa kepada anak tersebut, walaupun anak tersebut namong kepada kakek atau neneknya sendiri, tapi panggilan itu hanya dari paman dan bibinya saja.

6. Kepercayaan dulu, jika Anak (bayi) tersebut setelah diberi nama dan Namong, biasanya sering sakit-sakitan. Maka biasanya di-isyaratkan bahwa anak itu tidak menerima ke-Namong-annya. Lalu Namong-annya diganti dengan yang lain, dan baru anak tersebut tidak sakit-sakitan lagi.

Kesimpulan:

Kesimpulan yang dapat diambil dari artikel budaya ini adalah sebagai berikut:

1. Mungkin secara filosofi, tujuan adanya budaya “Namong” ini adalah pewarisan sifat kebaikan yang dimiliki kaum tetua kepada kaum generasi muda, agar generasi muda menjadi lebih baik dalam membangun masyarakatnya.

2. Budaya “Namong” juga menunjukan kepada kita bahwa adanya rasa kasih sayang yang luhur dari pihak tetua kepada kaum muda sebagai generasi penerus, sehingga anak tersebut tidak kehilangan rasa kasih sayang dari kecil sampai dewasa, walaupun ibu bapaknya telah tiada.

3. Kita perlu menjaga dan melestarikan budaya “Kearifan Lokal”, yang masih terikat kuat pada kehidupan masyarakat Indonesia. Karena dengan menjaga kearifan lokal tersebut, akan berguna sebagai filter bagi masuknya budaya asing yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa dan sejalan dengan Agama Islam.


“ Mari Lestarikan Budaya Kearifan Lokal, Sebagai Akar Budaya Bangsa ”

Sumber : http://iwatbatin.blogspot.com/2009/07/budaya-namong-dalam-masyarakat-adat-way.html

Falsafah dan Pedoman Hidup Masyarakat Lampung

Tandani Ulun Lampung Wat Piil-Pusanggiri Mulia Hina Sehitung Wat Liom Khega Diri Juluq-Adoq Kham Pegung, Nemui-Nyimah Muari Nengah-Nyampokh Mak Ngungkung, Sakai-Sambayan Gawi.
Falsafah Hidup Ulun Lampung tersebut diilustrasikan dengan lima bunga penghias Sigokh pada lambang Propinsi Lampung. Menurut kitab Kuntara Khaja Niti, Ulun Lampung haruslah memiliki Lima Falsafah Hidup:
1. Piil-Pusanggikhi (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri),
2. Juluq-Adoq (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya),
3. Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu),
4. Nengah-Nyampokh (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis),
5. Sakai-Sambayan (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Tujuh Pedoman Hidup Ulun Lampung:
1. Berani menghadapi tantangan: mak nyekhai ki mak kakhai, mak nyedokh ki mak badokh.
2. Teguh pendirian: khatong banjikh mak kisikh, khatong bakhak mak kikhak.
3. Tekun dalam meraih cita-cita: asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jekha tilah ya kelai.
4. Memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama: pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih.
5. Hasil yang kita peroleh tergantung usaha yang kita lakukan: wat andah wat padah, khepa ulah khiya ulih.
6. Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang dang nyapang, makhi pekon mak khanggang, dang pungah dang lucah, makhi pekon mak belah.
7. Arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah: wayni dang khubok, iwani dapok.