“Namong” berasal dari kata dasar “Tamong”, yang artinya orang yang dituakan, dihormati dan diagungkan (seperti kakek, nenek atau buyut). Mungkin pada jaman dulu Tamong dalam bahasa lampung kuno disebut dengan “Phu-Yang” (orang yang dituakan dan dihormati) atau “Umpu” (anak cucu yang masih hubungan darah atau keturunan).
Sedangkan arti dari kata “Namong” menurut bahasa berarti mempunyai Tamong atau ber-Tamong. Tapi menurut makna, “Namong” adalah seorang anak ber-Tamong kepada seseorang (masih hubungan darah) yang diharapkan menjadi penerus sifat kebaikannya (kearifan, kedermawanan dan kebijaksanannya). Budaya “Namong” ini hanya ditemukan dalam masyarakat Adat Lampung Pesisir Pemanggilan Marga Way Lima yang tersebar di 4 kecamatan yaitu Pardasuka, Kedondong, Way Lima dan sebagian Gedong Tataan.
Anak yang telah diberi nama dalam syukuran, biasanya langsung juga diberi Namong-nya. Adapun ketentuan Namong-an adalah sebagai berikut :
1. Harus ada hubungan darah (keturunan) baik dari pihak bapak atau ibu si anak. (contohnya : Kakek dan Nenek dari pihak ibu atau bapak, atau Kakek dan Nenek dari pihak paman /sepupu ibu atau bapak).
2. Anak yang ber-Tamong kepada seseorang, syaratnya harus beda 2 generasi. ( contohnya : Cucu dengan Kakek atau Nenek).
3. Anak laki-laki dengan kakek, sedangkan anak perempuan dengan nenek.
4. Anak laki-laki Namong kepada seorang kakek, maka kakeknya memanggil anak tersebut dengan sebutan “Sabai Kuya”, dan neneknya memanggil kepada anak tersebut dengan sebutan “Enggom”. Sebaliknya begitu juga pada anak perempuan yang Namong kepada seorang nenek, neneknya memanggil “Sabai” dan kakek memanggil ”Enggom”.
5. Begitu juga anak tersebut dipanggil oleh anak dari kakek atau nenek yang di-Namong-kan. Jika anak itu laki-laki, maka anak dari kakek atau nenek memanggilnya “bapak” dengan maksud menuakan dan menyayangi. Dan juga jika anak itu perempuan, mereka akan memanggil “Induk”. Tapi orang tuanya (bapak ibu) tetap memanggil dengan sebuatan biasa kepada anak tersebut, walaupun anak tersebut namong kepada kakek atau neneknya sendiri, tapi panggilan itu hanya dari paman dan bibinya saja.
6. Kepercayaan dulu, jika Anak (bayi) tersebut setelah diberi nama dan Namong, biasanya sering sakit-sakitan. Maka biasanya di-isyaratkan bahwa anak itu tidak menerima ke-Namong-annya. Lalu Namong-annya diganti dengan yang lain, dan baru anak tersebut tidak sakit-sakitan lagi.
Kesimpulan:
Kesimpulan yang dapat diambil dari artikel budaya ini adalah sebagai berikut:
1. Mungkin secara filosofi, tujuan adanya budaya “Namong” ini adalah pewarisan sifat kebaikan yang dimiliki kaum tetua kepada kaum generasi muda, agar generasi muda menjadi lebih baik dalam membangun masyarakatnya.
2. Budaya “Namong” juga menunjukan kepada kita bahwa adanya rasa kasih sayang yang luhur dari pihak tetua kepada kaum muda sebagai generasi penerus, sehingga anak tersebut tidak kehilangan rasa kasih sayang dari kecil sampai dewasa, walaupun ibu bapaknya telah tiada.
3. Kita perlu menjaga dan melestarikan budaya “Kearifan Lokal”, yang masih terikat kuat pada kehidupan masyarakat Indonesia. Karena dengan menjaga kearifan lokal tersebut, akan berguna sebagai filter bagi masuknya budaya asing yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa dan sejalan dengan Agama Islam.
“ Mari Lestarikan Budaya Kearifan Lokal, Sebagai Akar Budaya Bangsa ”
Sumber : http://iwatbatin.blogspot.com/2009/07/budaya-namong-dalam-masyarakat-adat-way.html
Aslm, kpd mas apripejer. Mohon jika mengutip secara keseluruhan artikel di blog kami (copy), harus ditls asal sumbernya di awal atau akhir blog, spy tidak ada pihak yg menyalah gunakannya.. Mohon maaf sblmnya, trmksh..
BalasHapusMahap ngalam pukha puakhi lain moneh ngapa mudah astawa ngampalaju. hinji keselipan kindua..insya Allah direvisi ulang..
BalasHapus